Tuesday, April 27, 2010

Kebudayaan Kudus

Dandangan

Dilaksanakan setiap menjelang bulan puasa, berlangsung semacam ”pasar malam” sekitar dua minggu, sambil menunggu kepastian awal Puasa. Hampir semua pedagang kaki lima (PKL) dengan segala macam dagangan berkumpul pada momen itu. Bahkan lengkap dengan hiburan rakyat yang murah meriah bernuansa tradisional. Lokasi Dandangan ditetapkan berlangsung di sekitar Masjid Menara hingga pohon beringin, Jl. Menara Kudus, dan Jl. Madurekso praktis di tutup untuk kegiatan tersebut. Sedangkan Jl. Sunan Kudus sampai Alun – alun biasanya juga menjadi padat sekali, apalagi dengan kedatangan wisatawan, maka area parkir bus menggunakan Jl. Kyai Telingsing maupun jalan – jalan disekitarnya.


Buka Luwur


Diadakan setiap tahun, bertepatan dengan tanggal 10 Muharram ( Assyura ). Buka Luwur adalah upacara tradisional penggantian kain kelambu yang dijadikan penutup makam Sunan Kudus. Upacara ini cukup meriah kendati tidak semeriah Dandangan. Upacara ini ditekankan pada Makam Sunan Kudus dan penggantian kain kelambu penutup makam. Biasanya dalam upacara ini dilengkapi dengan selamatan dan pembacaan tahlil serta do’a. Upacara ini biasanya melibatkan para tokoh – tokoh agama, para sesepuh dan masyarakat sekitar Masjid Menara ini.


Tradisi Muludan


Diadakan tiap – tiap bulan Maulud yang intinya memperingati hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, peringatan ini memang menjadi salah satu kegiatan Islam yang sifatnya Internasional, tetapi untuk masyarakat Kudus juga menjadi tradisi.


Bulusan


Yaitu tradisi yang diadakan tiap tahun, tepatnya tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi ini hampir sama dengan budaya jawa tengah yaitu Kupatan, tempat diadakanya tradisi bulusan adalah desa bulusan yang konon menurut cerita dahulu ada seorang yang dikutuk menjadi seekor bulus ( Kura – kura ), aneh nya tempat itu sekarang masih banyak Kura – kura yang berkeliaran. Untuk meramaikan tradisi ini biasanya diadakan pasar malam atau bazar.

Lomba Siswa Berprestasi 2010

Nama : Fiorencius Franantya Idhaleman
Nomor Peserta : 018
Asal Sekolah : SMA Keluarga Kudus

Asal Usul Kota Kudus

Kota Kudus yang sekarang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus di Provinsi Jawa Tengah, pada zaman dahulu hanyalah sebuah desa kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kedudukannya tidak dianggap penting, kecuali sebagai salah sate tempat persinggahan lalu lintas ekonomi dari pelabuhan Jepara ke pedalaman Majapahit dan sebaliknya.

Pada suatu saat, bermukimlah ke desa kecil itu seorang pedagang Cina bernama Sun Ging. Selain berdagang, Sun Ging yang ahli ukir itu mengembangkan keterampilannya mengukir sehingga banyaklah orang belajar mengukir di rumahnya. Lama-lama keahlian Sun Ging tersiar sampai ke istana Majapahit sehingga dipanggillah Sun Ging untuk mengukir hiasan-hiasan keraton. Setelah pekerjaan besar itu terselesaikan dengan balk dan memuaskan, ditanyalah Sun Ging oleh sang Raja.

“Hadiah apakah yang engkau inginkan dari Majapahit?”

“Sekiranya diizinkan, berilah hamba sebidang tanah di tempat hamba bermukim selama ini, biarlah hamba kelak mencangkulinya.”

“Mengapa tidak memohon hadiah emas permata atau putri Majapahit yang cantik jelita?” tanya sang Raja kemudian.

“Pada pendapat hamba, sebidang tanah itu sudah sangat berharga bagi hamba sendiri. Tanah itu kelak dapat dicangkuli sampai menghasilkan emas permata. Dengan demikian, hamba tak perlu kembali ke negeri asal yang jauh.”

“Jika tak hendak kembali ke tanah asalmu, apakah engkau sanggup berbakti kepada Majapahit?” kata sang Raja seolah ingin menguji kesetiaan Sun Ging.

“Sekiranya diizinkan, hamba ingin mengabdi sepenuh hati,” jawab ahli ukir itu dengan harapan akan segera menerima hadiahnya. -

Setelah menerima piagam hadiah itu, dengan gembira dan bangga Sun Ging memohon izin kembali ke desanya dengan niat mendirikan sebuah perguruan ukir. Ternyata niat itu pun terkabul, terbukti dengan semakin banyaknya orang yang belajar mengukir di perguruan itu. Kemudian, desa itu terkenal dengan nama Sunggingan, karena berasal dari nama pemiliknya Sun Ging, sedangkan akhiran -an berarti tempat tinggal. Jadi, Sunggingan berarti tempat tinggal keluarga Sun Ging.

Akan tetapi, cerita lain menyebutkan bahwa nama Sunggingan itu berarti tempat orang-orang menyungging yang berarti melukis atau mengukir. Dalam bahasa Jawa, juru sungging berarti ahli lukis atau tukang ukir. Dalam cerita ini disebutkan bahwa pemilik Sunggingan ialah The Ling Sing, yaitu seorang pedagang Cina yang dalam cerita terdahulu bernama Sun Ging.

Keramaian ekonomi desa Sunggingan ternyata terns berkembang walaupun pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sudah tak terdengar kabarnya. Hal itu memikat perhatian Raden Patah yang sudah

berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak Bintoro di Demak yang tak jauh dari desa itu.

“Desa Sunggingan itu kelak dapat menjadi sebuah kota besar yang penting di dekat Jepara yang sudah berkembang sebagai pelabuhan. Oleh karena itu, perlu segera diislamkan agar dapat mendukung perkembangan Demak Bintoro,” pikir Raden Patah.

Tak lama kemudian, diperintahkanlah kepada Syekh Jafar Sodiq, seorang ulama besar dari Persia, untuk mengislamkan Sunggingan.

Mendengar perintah itu berkemaslah Syekh Jafar Sodiq hijrah dari Demak Bintoro ke desa Sunggingan dengan beberapa orang santri terdekatnya. Sesampai di sana terlihatlah sebuah bangunan pintu gerbang Kerajaan Majapahit yang sudah tidak dipelihara orang. Hal itu justru memberikan ilham bagi Syekh Jafar Sodiq untuk memugarnya kembali agar memikat simpati masyarakat setempat yang masih memeluk agama Hindu sebagai warisan kebesaran Majapahit.

Pada mulanya di gerbang atau gapura itulah Syekh Jafar Sodiq mengundang masyarakat untuk men­dengarkan ajaran-ajaran barn yang disebut Islam. Caranya ialah dengan menambatkan seekor sapi jantan yang gemuk di dekat gerbang itu. Masyarakat pun tertarik menyaksikan sapi yang merupakan hewan terhormat dalam agama Hindu. Setiap kali orang berkerumun di tempat itu, berkhotbahlah Syekh Jafar Sodiq untuk mengajak masyarakat memeluk Islam. Berkat kesabaran, keramahan, dan kewibawaan pribadinya maka dalam waktu singkat sebagian besar penduduk Sunggingan telah memeluk agama Islam, termasuk The Ling Sing sendiri yang kemudian bergelar Kiai Telingsing. Bahkan, Syekh Jafar Sodiq pun akhirnya bermukim di sana dan kelak terkenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Sebagai tokoh syiar Islam yang berasal dari negeri asing, wajarlah Syekh Jafar Sodiq membawa-bawa. keagungan atau kebesaran negerinya sendiri. Hal itu diperlihatkannya dalam membangun sebuah mesjid di dekat gerbang atau gapura desa itu. Pada bagian kiblat mesjid itu dihiasi lempengan-lempengan batu hitam yang berasal dari negeri Persia yang dipersamakan dengan batu Hajar Aswad di Kakbah. Hiasan itu disebutnya Al Kuds yang berarti suci atau keramat. Tak lama kemudian, mesjid itu pun dikenal masyarakat sekitarnya dengan sebutan mesjid Kudus, yaitu sebuah mesjid yang dihiasi lempengan-lempengan batu AlKuds atau batu-batu yang suci.

Apa yang diramalkan Raden Patah ternyata menjadi kenyataan. Setelah Syekh Jafar Sodiq bermukim di desa Sunggingan dan berhasil membangun sebuah pesantren, berkembanglah desa atau wilayah itu. Semakin banyaklah orang dari berbagai daerah lain yang berniat belajar mengaji dan mencari kehidupan barn dengan bertani, berdagang, mengukir, dan sebagainya. Desa Sunggingan yang dirintis oleh The Ling Sing berkembang menjadi pesantren dan kota yang oleh penduduk setempat disebut Kudus, dan Syekh Jafar Sodiq pun kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Gerbang atau gapura Majapahit yang telah dipugar oleh Syekh Jafar Sodiq ternyata menjadi salah satu ciri khas kota Kudus. Bangunan itu terkenal dengan sebutan Menara Kudus, aslinya berada di dekat mesjid Sung­gingan, sedangkan tiruannya didirikan di depan sebuah pusat perbelanjaan kota Kudus. Ternpat lain yang bersangkutan dengan asal usul kota itu ialah makam Kiai Telingsing yang nama aslinya The Ling Sing. Makam itu terdapat di desa Sunggingan, sekarang hanya sebuah desa di dalam wilayah kota Kudus yang semakin semarak perkembangannya.

Profil Kota Kudus

Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat kaya raya dengan segala kekayaan alamnya dan keanekaragaman budayanya yang sudah terkenal sejak jaman nenek moyang. Kemashurannya sudah ada dan tercipta sejak raja-raja berkuasa di Bumi Jawa. Tercatat Kerajaan Majapahit dengan Patihnya Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara dengan “Sumpah Palapanya” bahkan konon beberapa negara tetangga juga berhasil ditaklukkan.

Rasanya kita sebagai generasi penerus harus banyak belajar dari para pendahulu agar Bangsa Indonesia menjadi Bangsa yang besar, dihormati dan disegani oleh negara-negara lain di dunia. Sumber daya manusia yang banyak, kekayaan alam melimpah, sampai-sampai Koes Plus menggambarkan indahnya alam Indonesia dalam salah satu lagunya ,” Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman”, adalah modal dasar buat membangun Bangsa ke depan.

Melalui catatan kecil ini saya ingin mengajak rekan-rekan untuk mengenal dan mencintai salah satu budaya Indonesia melalui Kota Kudus. Kota Kudus yang terkenal dengan Kota Kretek ternyata menyimpan sejarah yang menarik dalam perkembangan kebudayaan di daerah sekitarnya pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Potensi wisata, budaya setempat, kulinernya, semua menarik untuk dikaji.

Pada akhirnya saya ingin mengajak semua untuk mencintai dan bangga sebagai Bangsa Indonesia. Siapa lagi kalau bukan para generasi muda sebagai penerus tongkat estafet yang telah diberikan oleh para pendahulu kepada kita.

Kota Kudus

Orang biasanya mengenal Kota Kudus sebagai Kota Kretek dengan PT Djarum sebagai pabrik yang terbesar dan diikuti oleh pabrik-pabrik rokok lainnya. Namun lebih dari itu, Kota Kudus ternyata menyimpan sejarah panjang yang menjadi goresan tinta sejarah peradaban.

Karena terletak di jalur Pantura yang merupakan jalur perdagangan yang vital, kurang lebih 53 km dari Semarang atau sekitar 45 menit lewat perjalanan darat dari Kota Semarang menjadikan Kota Kudus sebagai daerah tujuan dagang dan wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Nama Kudus sendiri berasal dari bahasa Arab al-Quds yang berarti suci, konon Kudus satu-satunya kota di Jawa yang mengadopsi namanya dari bahasa Arab. Walaupun karakter Islam sangat kuat di Kudus, namun pengaruh Hindu masih tetap berlaku, misalnya dilarang menyembelih sapi di dalam wilayah Kota Kudus. Penyebar Islam pertama di Kudus yang bernama Ja’far Shadiq atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus mengetahui bahwa sapi adalah binatang suci Umat Hindu.
Kali Gelis yang mengalir ditengah Kota Kudus membagi wilayah menjadi dua bagian yaitu Kudus Kulon ( Barat ) dan Kudus Wetan ( timur ). Pada masa lampau, wilayah Kudus Kulon didiami oleh para pengusaha, pedagang, petani dan ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para priyayi, cendikiawan, guru-guru, bangsawan dan kerabat ningrat. Dalam perkembangannya ternyata Kudus Kulon lebih maju.

Masjid Kudus

Masjid Kudus dikenal oleh masyarakat karena bentuk arsitektur masjid yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dan Hindu. Masjid yang dibangun pada tahun 1549 oleh Ja’far Shadiq memang memilki pesona yang luar biasa. Menara yang terbuat dari bata merah yang aslinya adalah menara peninggalan Hindu yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat para raja dan kaum bangsawan, namun sebagian lain menganggap bahwa menara tersebut adalah menara pengawas dari sebuah rumah ibadat agama Hindu sebelum diubah menjadi masjid.

Menara masjid ini berbentuk seperti Candi Singasari atau Bale Kul-Kul di Bali, sisa peninggalan dari Zaman Hindu yang telah beralih fungsi. Tinggi menara ini kira-kira 17 m dan telah berusia tujuh abad. Bangunan menara terbagi tiga yaitu kaki, badan, dan puncak bangunan. Masjid Kudus tetap mempertahankan bentuk aslinya walaupun telah mengalami beberapa kali pemugaran. Keunikan lain di serambi masjid terdapat sebuah Candi Bentar, penduduk menyebutnya Lawang Kembar yang konon berasal dari Majapahit.

Di belakang masjid adalah makam Ja’far Shadiq dan para pengikutnya yang menempati tanah dua kali lebih luas dari ukuran masjid tersebut. Seperti bentuk gapura depan, memasuki areal taman pemakaman pun yang sudah berumur ratusan tahun tetap cantik dan menarik. Dengan bergaya arsitek Hindu, masing – masing makam tersusun dengan rapi dan dibuat cluster sesuai dengan pangkatnya. Dari golongan prajurit yang paling rendah sampai dengan makam Ja’far Shadiq sendiri yang bertempat di tengah-tengah diantara semua para punggawanya.

Setiap hari selalu saja masjid ini ramai dikunjungi oleh para pengunjung, baik yang hanya sekedar ingin melihat-lihat arsitek bangunan yang unik, maupun yang ingin berziarah ke makam Ja’far Sadiq ( Sunan Kudus ). Selama acara Buka Luwur, yang diadakan tiap tanggal 10 Muharram, tirai yang terdapat di makam ini diganti dan pada saat seperti ini ribuan peziarah akan memadati kawasan makam. Apalagi lokasinya yang terletak di pusat Kota Kudus menjadikan tempat ini sangat mudah diakses, baik dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi.

Kota Industri Rokok

Kudus juga terkenal karena industri rokoknya dan di kota inilah pertama kali jenis rokok kretek ditemukan oleh seorang penduduk Kudus bernama Nitisemito yang pernah menyatakan bahwa rokok kretek temuannya dapat menyembuhkan penyakit asma. Dia membuat rokok kretek dari tembakau yang dicampur dengan cengkeh yang dihaluskan dan dibungkus dengan daun jagung yang dikenal sebagai rokok klobot. Dia mulai menjual rokok klobot merek Bal Tiga pada tahun 1906.

Nitisemito mempromosikan rokok klobotnya secara intensif dengan menggunakan radio, melakukan tur dengan grup musik bahkan menyebarkan pamflet melalui udara. Akhirnya Kudus berkembang menjadi pusat industri rokok dan pernah tercatat 200 pabrik rokok beroperasi di Kudus dan sekitarnya.

Namun dalam perjalanannya, industri rokok Kudus mengalami rasionalisasi dan hanya tiga perusahaan besar yang mampu menguasai pasaran yaitu ; Bentoel di Malang, Gudang Garam di Kediri dan Djarum di Kudus. Nitisemito termasuk orang yang menjadi korban persaingan industri rokok, ia bangkrut pada tahun 1953.

Saat ini perusahaan rokok kretek utama di Kudus antara lain Djambu Bol, Nojorono, Sukun, dan Djarum. Perusahaan rokok yang terakhir ini adalah yang terbesar di Kudus yang mulai beroperasi sejak tahun 1952. Djarum memiliki pabrik rokok modern yang terletak di Jl. A yani, wisatawan dapat melakukan peninjauan ke pabrik ini tetapi harus meminta ijin terlebih dahulu seminggu sebelumnya. Pabrik rokok Sukun terletak agak di luar kota Kudus. Pabrik rokok ini masih memproduksi rokok klobot yaitu rokok tradisional dimana tembakau digulung dengan daun jagung.

Museum Kretek Kudus

Museum yang didirikan pada tahun 1996 memamerkan sejumlah foto yang menarik mengenai rokok dan alat-alat yang digunakan dalam proses membuat rokok. Museum ini memiliki diorama yang menggambarkan proses produksi rokok kretek; dari penyediaan bahan baku berupa cengkeh, tembakau, daun jagung muda hingga ke proses pengerjaannya dan pemasarannya.

Museum yang terletak di desa Getas Pejaten, sekitar 2 km dari kota Kudus ini buka dari jam 09.00 WIB hingga 16 kecuali Jum’at. Di dekat museum kretek ini terdapat rumah adat Kudus yang terbuat dari kayu penuh ukiran yang merupakan keterampilan masyarakat Kudus yang terkenal. Gaya arsitektur Kudus disebut-sebut berasal dari seorang Imigran dari Cina yang bernama Ling Sing dari abad ke 15.

Gunung Muria

Setelah lelah berkeliling Kota Kudus, silakan mampir untuk menikmati kesejukan Gunung Muria. Gunung Muria terletak 18 km sebelah utara Kota Kudus dan memiliki ketinggian kurang lebih 1700 m. diatas permukaan air laut Selain menampilkan pemandangan khas pegunungan yang indah, keberadaan makam Sunan Muria, air terjun Montel serta bumi perkemahan Hajar semakin menjadi pelengkap tempat ini sebagai salah satu tujuan tempat wisata.

Tempat penginapan sederhana namun lumayan bersih tersedia di shelter terakhir perparkiran mobil. Hotel Pesanggrahan adalah hotel yang dimiliki oleh Pemerintah dan bisa dipakai untuk umum dengan biaya antara Rp 10.000,- sampai dengan Rp 44.000,-. Jika anda ingin menemukan tantangan yang lebih besar, anda bisa mendaki ke Puncak songolikur ( 29 ) yang terletak di atas air terjun Monthel, bisa dipandu oleh pemandu setempat.

Tari Kretek - Tari Khas Kota Kudus

Tari kretek kini menjadi ikon baru di Kudus, karena kini banyak acara atau ivent-ivent di Kudus sering menampilkan Tari kretek.Seperti acara pameran yang berlangsung di alun-alun Simpang tujuh Kudus kemarin pembukaanya menampilkan tarian kretek.

Aku sendiri Juga baru mengenal tari kretek namun rasanya aku patut bangga karena Kudus terus menampilkan Keunukan Budayanya.tari yang menggmbarkan proses produksi rokokkretek ini sangatlah unik.

Beberapa waktu yang lalu Tari kretek berhasil meraih juara ke tiga tingkat Jawa tengah.tentunya hal ini akan mebuat Tari kretek di kenal luas oleh masyarakat.Nah semoga Tari kretek ini akan membuat Kudus di kenal lebih oleh kota-kota lain akan budayanya.Dan semoga tidak hanya tari kretek ,kreasi keunikan masyarakat Kudus terus bermunculan.Agar menambah citra yang positif bagi Kota Kudus dan tentunya bangsa Indonesia.



Mesjid Kudus

Penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh para pedagang, yang dipelopori oleh Maulana Maghribi, yang lebih dikenal dengan nama Maulana Malik Ibrahim. Beliau menyebarkan Islam tidak hanya sendiri, melainkan bersama-sama dengan yang lain atau biasa disebut dengan Wali Songo. Wali-wali tersebut menyampaikan risalah Islam dengan cara yang berbeda, salah diantaranya adalah yang kita kenal dengan Ja'far Shodiq atau biasa disebut dengan Kanjeng Sunan Kudus.

Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid ini tergolong unik karena desain bangunannya, yang merupakan penggabungan antara Budaya Hindu dan Budaya Islam. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam, Di Jawa telah berkembang agama Budha dan Hindu dengan peninggalannya berupa Candi dan Pura. Selain itu ada penyembahan terhadap Roh Nenek Moyang (Animisme) dan kepercayaan terhadap benda-benda (Dinamisme). Masjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.

Menurut sejarah, Masjid Menara Kudus didirikan oleh Sunan Kudus atau Ja'far Shodiq ialah putera dari R.Usman Haji yang bergelar dengan Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan tempat tersebut terletak di sebelah utara Blora). Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil, puteri dari R.Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonan di Tuban. R.Makdum Ibrahim adalah putera R.Rachmad (Sunan Ampel) putera Maulana Ibrahim. Dengan demikian Sunan Kudus adalah menantunya Kanjeng Sunan Bonang. Sunan Kudus selain dikenal seorang ahli agama juga dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadist dan ilmu fiqh. Karena itu, diantara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai "Waliyil Ilmi". Adapun cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Salah satu contohnya adalah, Sapi merupakan hewan yang sangat dihormati oleh agama Hindu, suatu ketika kanjeng Sunan mengikat sapi di pekarangan masjid, setelah mereka datang Kanjeng Sunan bertabligh, sehingga diantara mereka banyak yang memeluk Islam. Dan sampai sekarang pun di wilayah Kudus, khususnya Kudus Kulon dilarang menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap agama Hindu sampai dengan saat ini.

Penghormatan lain adalah diwujudkan dalam bentuk bangunan menara masjid yang bercorak Hindu. Menurut sejarah, masjid Kudus dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 H. Hal ini terlihat dari batu tulis yang terletak di Pengimaman masjid, yang bertuliskan dan berbentuk bahasa Arab, yang sukar dibaca karena telah banyak huruf-huruf yang rusak. Batu itu berperisai, dan ukuran perisai tersebut adalah dengan panjang 46 cm, lebar 30 cm. Konon kabarnya batu tersebut berasal dari Baitulmakdis ( Al Quds ) di Yerussalem - Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama Kudus yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan masjid Kudus dan kotanya dinamakan dengan kota Kudus.

Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918 - an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk "padasan" tersebut merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kolam tersebut peninggalan jaman Hindu atau sengaja dibuat oleh Sunan Kudus untuk mengadopsi budaya Hindu. Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang kembar", konon kabarnya gapura tersebut berasal dari bekas kerajaan Majapahit dahulu, gapura tersebut dulu dipakai sebagai pintu spion.

Cerita mengenai menara Kudus pun ada berbagai versi, ada pendapat yang mengatakan," bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu,". Buktinya bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 atau mirip dengan Candi Singosari. Pendapat lain mengatakan kalau dibawah menara Kudus, dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Kenapa ? karena mahluk hidup yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara. Menara Kudus itu tingginya kira-kira 17 meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah banyaknya. 20 buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sedang 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Dalam menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian : (1) Kaki (2) Badan dan (3) Puncak bangunan. Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefix ( hiasan yang menyerupai bukit kecil ).

Tampak dari depan sekilas memang masjid Menara Kudus ini kelihatan kecil, namun setelah masuk ke dalam luas sekali. Selain masjid, ternyata di belakang masjid adalah komplek makam Kanjeng Sunan Kudus dan para keluarganya. Pintu masuk makam terletak disebelah kanan masjid, kemudian setelah melalui jalan kecil kita akan melalui pintu kedua memasuki komplek yang didalamnya ada pondokan-pondokan. Ditengah-tengah pondokan tersebut ada sebuah bangunan paling besar, konon kabarnya bangunan tersebut adalah tempat pertemuan para Walisongo sekaligus tempat Sunan Kudus memberikan wejangan kepada para muridnya. Disebelah utara sebuah komplek ini ada sebuah pintu kecil menuju ke komplek pemakaman Kanjeng Sunan. Komplek-komplek makam tersebut terbagi-bagi dalam beberapa blok, dan tiap blok merupakan bagian tersendiri dari hubungannya terhadap Kanjeng Sunan. Ada blok para putera dan puteri Kanjeng Sunan, ada blok para Panglima perang dan blok paling besar adalah makam Kanjeng Sunan sendiri. Uniknya adalah semua pintu penghubung antar blok berbentuk gapura candi-candi. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata merah yang disusun berjenjang, ada yang menjorok ke dalam dan ke luar seperti layaknya bangunan candi. Panorama yang nampak adalah komplek pemakaman Islam namun bercorak Hindu.

Kesan unik dan historis inilah yang sangat menarik para wisatawan religi maupun wisatawan biasa. Setiap hari tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan, wisatawan yang berasal dari sekitar kota Kudus biasanya berkunjung pada hari biasa, hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak pengunjung dari luar kota. Tanggal 10 Syura' merupakan puncak keramaian di komplek masjid ini, dalam rangka khaul wafatnya Kanjeng Sunan Kudus. Walaupun mengandung keunikan yang khas, namun tata ruang sekitar masjid nampak amburadul. Karena terletak dipusat kota Kudus, hanya 5 menit dari alun-alun kota Kudus, masjid ini dikepung oleh perumahan penduduk yang cukup padat. Sehingga, mengurangi keindahan komplek bangunan Masjid Menara Kudus ini yang sekarang masuk sebagai salah satu cagar budaya. Selain itu, banyaknya pengemis yang berada disekitar masjid, juga dapat mengganggu para pengunjung yang datang. Agar terus terjaga kelestariannya, penataan ruang sekitar masjid harus diperbaiki kembali untuk mempertahankan kesan indah dan unik Masjid Menara Kudus ini.

Selain terkenal dengan jenang Kudusnya, makanan lain khas Kota Kudus adalah Soto Kudus. Sekarang ini Soto Kudus sudah hampir merambah kota-kota besar di seluruh Indonesia. Terasa ada yang berbeda dengan soto kudus lainnya ketika kita makan Soto Kudus "Pak Ramidjan" yang terletak di Jl.Jepara - Jember, Kudus ini. Tak jauh dari Masjid Menara Kudus kita bisa temukan tempat ini dengan gampang. Hanya 5 menit perjalanan, dan hampir setiap orang disekitar tempat tersebut mengenal tempat ini. Tempatnya biasa saja, tidak terkesan mewah atau unik, namun setelah mencicipi soto tersebut, rasanya membuat lidah bergoyang dan ingin nambah lagi.

Seperti kata Bu Hj.Nikmah, pengelola soto Pak Ramidjan," rata-rata orang yang sudah berkunjung kesini akan mengatakan, soto kudus pak Ramidjan ini yang paling lezat,". Dari aroma bumbu, memang soto Pak Ramidjan ini memberikan racikan bumbu yang berbeda dengan soto kudus lainnya, dan berani. Selain soto kudus, nasi pindang juga tersedia, tentunya terasa khas dan berbeda dengan yang lainnya. Karena dengan resep dan bumbu yang berbeda, rata-rata makanan yang tersaji di tempat ini mempunyai rasa yang lezat dan bisa membuat kita ketagihan untuk makan di tempat ini lagi. Apalagi harga yang tidak begitu mahal, dan sangat terjangkau, membuat orang-orang suka makan di tempat ini.

Kota Kudus


Kabupaten Kudus, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Kudus, berada di jalur pantai utara timur Jawa Tengah, yaitu di antara (Semarang-Surabaya). berada 51 km sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di barat. Kudus dikenal sebagai kota penghasil rokok kretek terbesar di Jawa Tengah. Selain itu kudus juga di kenal sebagai kota santri, kota ini juga menjadi pusat perkembangan agama islam pada abad pertengahan hal itu dapat dilihat dari terdapatnya 2 makam wali/ sunan, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Kudus adalah dataran rendah. Sebagian wilayah utara terdapat pegunungan (Gunung Muria), dengan puncaknya Gunung Saptorenggo (1.602 meter), Gunung Rahtawu (1.522 meter), dan Gunung Argojembangan (1.410 meter). Sungai terbesar adalah Sungai Serang yang mengalir di sebelah barat, membatasi Kabupaten Kudus dengan Kabupaten Demak.

Kabupaten Kudus terdiri atas 9 kecamatan, yang dibagi lagi atas 123 desa dan 9 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kota Kudus. Kudus merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil dan memiliki jumlah kecamatan paling sedikit di Jawa Tengah. Kabupaten Kudus terbagi menjadi 3 wilayah pembantu bupati (Kawedanan), setiap kawedanan terdiri 3 kecamatan yaitu: (1) Kawedanan Kota (Kec. Kota, Jati dan Undaan). (2) Kawedanan Cendono (Kec. Bae, Gebog dan Kaliwungu). (3) Kawedanan Tenggeles (Kec. Mejobo, Dawe dan Jekulo).

Perkembangan perekonomian di kudus tidaklah lepas dari pengaruh perindustrian. Beberapa perusahaan industri besar yang ada di kudus adalah PT. Djarum, PT. Petra, PR. Sukun, PT. Nojorono. PT.Hartono Istana Electronic (d/h Polytron), PT. Pura, PT. Kudos, dan ribuan perusahaan industri kecil dan menengah.